Klimaks, kata-kata ini barangkali pas sebagai ungkapan atas perseteruan lembaga penegakan hukum; KPK versus Polri. Semula publik mengira perseteruan dua lembaga itu sudah berakhir pada istilah Cicak vs Buaya I, ternyata lanjut ke jilid II.
Sulit untuk disangkal bahwa berlanjutnya perseteruan dua lembaga itu tak terkait kasus Komjen Budi Gunawan (BG), calon Kapolri, yang menjadi tersangka suap di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Apalagi melihat sepak terjang perlawanan ke KPK, publik meyakini kalau penetapan BG menjadi tersangka membuat jajaran Polri terhenyak dan marah. Pasalnya, jenderal bintang tiga calon pucuk pimpinan mereka dijadikan pesakitan oleh KPK. Alhasil, Polri sebagai lembaga penegak hukum yang tengah melakukan perbaikan citranya kembali tercoreng.
Setelah Polri sekian lama berusaha memulihkan citranya seperti sia-sia. Tiba-tiba KPK menyangka BG telah menerima suap atau gratifikasi semasa menjabat Kepala Biro Karir Deputi Pembinaan SDM mabes polri 2003-2006. Belum diketahui berapa nilai suap yang diterima BG. Pastinya, perbuatan BG dianggap KPK melanggar pasal 12a atau b, pasal 5 ayat 2, pasal 11 atau pasal 12b UU No.31 Tahun 1999 juncto UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 KUHP.
Atas sangkaan itu BG kecewa. Sebab dia merasa harta kekayaannya diperoleh secara sah. Menurutnya, kalau ada penambahan harta, ini karena ada perubahan pada nilai jual obyek pajak atas kepemilikan harta tidak bergerak atau tanah miliknya.
Mendapat sangkaan itu, Polri dan BG melakukan upaya hukum terhadap KPK. Gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pun dilayangkan. Karena Polri menilai penetapan tersangka BG tidak sesuai dengan prosedur hukum.
Polri mempraperadilankan KPK karena kasus ini tidak jelas siapa pemberi suap terhadap BG. Lainnya, penetapan BG juga dinilai tidak sah karena dipaksakan. Belum adanya pemeriksaan saksi, namun KPK telah menetapkan jenderal bintang tiga itu sebagai tersangka.
Namun, KPK mengaku telah memiliki dua alat bukti untuk menetapkan BG sebagai tersangka. Imbas dari penetapan tersangka, pelantikan BG sebagai Kapolri akhirnya ditunda Presiden Joko Widodo untuk memberikan kesempatan KPK membuktikan sangkaannya itu.
KPK menindaklanjutinya dengan melakukan pemanggilan tiga saksi polisi tapi tidak satupun yang hadir.
Ketidakhadiran mereka ditengarai sebagai bentuk soliditas dan kemarahan Polri terhadap KPK. Pasalnya, Polri terkesan merasa tidak dihargai. Sebab, sebelumnya kepolisian telah menangani kasus transaksi mencurigakan Komjen BG atau istilah rekening gendut. Hasilnya tak ada masalah, rekening BG clear dan clean.
Kemarahan Polri lainnya adalah KPK dianggap melanggar komitmen penanganan perkara yang melibatkan perwira tinggi Polri cukup sampai Irjen Djoko Susilo dalam kasus simulator SIM.
Perlawanan ternyata tidak berhenti sampai pada gugatan praperadilan ke KPK. BG melalui Pengacara Razman Arif Nasution, dari Kantor Advokat Eggy Sudjana juga melaporkan Ketua KPK Abraham Samad dan wakilnya, Bambang Widjojanto, ke Kejaksaan Agung. Mereka menuduh keduanya melakukan penyalahgunaan wewenang. Menurut Arif, Samad telah melakukan pengabaian dan pembiaran kasus-kasus korupsi besar seperti kasus bailout Bank Century dan BLBI.
"Membiarkan suatu kasus itu ada ancaman pidananya, yaitu dua tahun delapan Bulan. Juncto-nya kita lihat bisa jadi enam tahun," jelas Razman.
Dia menilai penetapan tersangka kliennya dipaksakan. Sebab kasus yang dituduhkan BG merima gratifikasi terjadi pada medio 2003-2006, tetapi baru ditetapkan sebagai tersangka pada 2015.
Sehari setelah pelaporan ke Kejagung itu, berita mengejutkan datang dari Setjen PDIP Hasto Kristiyanto. Ketua KPK Abraham Samad dinilainya telah berpolitik saat pilpres lalu. Abraham dituding Hasto aktif menawarkan diri untuk menjadi cawapresnya Jokowi. Ini dinilainya sebagai pelanggaran etik pimpinan KPK. Hasto juga membantah hal ini terkait BG. Dia mengaku ini sebagai jawaban Samad yang merasa difitnah dalam pemberitaaan di sebuah media sosial tersebut.
Sontak kabar ini mengejutkan publik. Ada yang menganggapnya sebagai manuver politik Hasto. Namun ada juga yang menyikapinya sebagai persoalan serius yang harus dibuktikan. DPR mendesak Samad dibawa ke sidang etik. Namun, mantan Ketua MK Mahfud MD tidak terkejut dengan kabar ini karena sudah mendengarnya sejak lama.
Menurut Mahfud MD, pertemuan Ketua KPK Abraham Samad dengan pendukung Jokowi bukan berita baru.
"Saya percaya itu dan saya sudah lama tahu, rakyat juga sudah lama tahu. Kan sudah dimuat di koran tuh sebelum pilpres, Pak Abraham Samad ketemu Jokowi di bandara, Abraham Samad melakukan ini. Itu kan sudah ada sebelumnya, jadi bukan berita baru," tandas Mahfud di Jakarta, Kamis 22 Januari 2015 malam.
Bagaimana KPK menyikapi tudingan ini? Deputi Pencegahan KPK Johan Budi mengatakan pihaknya telah konfirmasi dan Samad membantah pernyataan Hasto tersebut. KPK meminta Hasto menunjukkan bukti-buktinya.
Baru saja tudingan itu muncul, berita baru kembali menyentak publik. Pada Jumat 23 Januari 2015 pagi, Polri menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto dan menetapkannya sebagai tersangka pemberi keterangan palsu dalam persidangan di MK pada perkara sengketa Pilkada Kota Waringin Barat, Kalimantan Tengah, tahun 2010. Ketika itu Bambang adalah pengacara.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Ronny Sompie menolak jika proses hukum terhadap Bambang dikaitkan dengan proses hukum terhadap BG. Ronny berharap semua pihak melihat proses hukum ini secara proporsional bahwa penetapan tersangka Bambang adalah mekanisme hukum.
"Proses penyidikan tidak ada kaitan dengan perlawanan. Ini mekansime hukum yang dilakukan terhadap siapa saja yang menjadi tersangka," kata Ronny.
Meski Polri mengklarifikasi kasus BW bukan perlawanan terkait BG, banyak publik sulit memercayainya. Ibarat nasi sudah menjadi bubur. Polri terlajur mendapatkan stigma (ciri negatif) dari masyarakat akibat ulah oknum-oknumnya yang mengorupsi uang rakyat.
Ketidakpercayaan masyarakat terhadap Polri tidak mudah untuk dikembalikan. Polri haruslah membuktikan bahwa dirinya benar-benar sebagai aparat penegak hukum, pengayom, dan pelindung masyarakat.
KPK lahir melalui UU No.30 Tahun 2002, salah satunya karena ketidakpercayaan publik pada lembaga penegak hukum itu. Inilah sebuah risiko yang harus diterima kepolisian kini. Namun, yang pasti saat ini publik terpecah menjadi dua faksi. Mereka memberikan dukungan terhadap Polri karena menjaga kamtibmas, dan KPK sebagai pemberantas korupsi. Save KPK-Save Polri. [inilah]
0 Response to "Klimaks KPK versus Polri"
Posting Komentar