Para analis melihat, kehambaran dan kegersangan (kalau bukan ketegangan) antara Jokowi dan Ketua Umum PDI P Megawati Soekarnoputri belum bakal sirna. Mungkin bagai kawat berduri di antara keduanya. Komunikasi politik antara Jokowi dan Megawati makin rentan, jarang dan tegang. Ada apa gerangan?
Beberapa hari lalu, dikabarkan Megawati tak bersedia menerima kehadiran Jokowi, sang petugas PDI P yang kini duduk di singgasana istana.
Media sosial mengabarkan ada penolakan itu dari induk kandang Banteng, bahwa Megawati sudah nyaris 'patah arang' dengan Jokowi terkait kasus KPK vs Polri dan kasus BG (Budi Gunawan). Benarkah?
Sementara kecenderungan kuat kaum relawan justru mendorong Jokowi memisahkan diri dari Megawati dan PDI P yang makin menajam, sejalan dengan tak segera selesainya konflik KPK vs Polri.
"Jokowi diharapkan untuk tidak goyah atas munculnya dorongan-dorongan itu. Jokowi akan kehilangan basis kekuatan di parlemen jika pisah dari PDI P," tandas pengamat politik yang juga dosen Fisip Unair Haryadi.
Harus diakui, dorongan untuk berpisah dengan partai yang mengusung Jokowi itu terutama berasal dari figur atau faksi kelompok relawan pendukung Jokowi yang karakternya memang antipartai dan mengandalkan moral forces.
Jika Jokowi terpisah dari PDI P, maka dengan sistem presidensial semi parlementer dewasa ini, jelas akan membuat Jokowi limbung dan rentan untuk dijatuhkan, kecuali jika memang Jokowi ingin bunuh diri secara politik karena sudah tak punya taktik dan strategi politik sama sekali.
Jokowi mestinya dikelilingi para menteri kabinet yang kompeten, komit dan tangguh, bukan para menteri medioker dan asal blusukan, yang menyebabkan dia tak punya pembantu yang kredibel dan bisa membantunya mengatasi masalah ekonomi, hukum, politik dan sosial. Kini yang terjadi, hubungan Jokowi dengan sejumlah menterinya tambah berjarak, timpang dan terkesan basa-basi tanpa substansi.
Sementara itu, merajut kembali relasi hangat antara Jokowi, Megawati dan koalisinya (KIH) bukan perkara mudah, sebab kasus BG dan KPK vs Polri makin menjadi bola liar yang merusak reputasi pemerintahan Jokowi sendiri dan menerbitkan ketidakpastian yang murung, seakan 'terowongan tanpa ujung'.
Alhasil, Jokowi harus berusaha membangun dukungan rakyat dan soliditas eksekutif, legislatif dan yudikatif ke depan, jika ingin bertahan dan membangun stabilitas. Pada satu sisi, Jokowi harus tetap prorakyat dan melayani rakyat. Namun, di sisi lain dia sebaiknya mempertahankan basis politik KIH (Koalisi Indonesia Hebat) pimpinan Banteng yang jelas amat vital, dan jangan sampai ia kehilangan patron ideologi nasionalisme-kewargaan tersebut.
Jokowi bukanlah sosok genius dan hebat ala Soekarno, dan ia menghadapi bahaya krisis legitimasi. Jokowi hanyalah orang biasa, dari Solo, yang tentu berbahaya kalau dia 'solo karir' di tengah iklim politik yang fakir, abu-abu dan defisit daya pikir.
Kini publik mengakui, di bawah Jokowi yang pasti adalah ketidakpastian itu sendiri. Dan sampai kapan seperti ini? [inilah]
0 Response to "[Bahaya Krisis Legitimasi] Jokowi Bukanlah Sosok Genius dan Hebat ala Soekarno"
Posting Komentar