Sejak awal dilantik, Menteri Pertanian dan para menteri bidang ekonomi seringkali berakrobatik. Untuk menenangkan hati presiden, mereka kerap menyuguhkan berbagai proyek bombastis seperti swasembada pangan. Celakanya, Jokowi tak berdaya mengendalikan proyek yang memanjakan kaum pengusaha itu.
Sebagai Mentan, pekerjaan besar yang mesti dituntaskan Andi Amran Sulaiman dalam waktu singkat tak lain meningkatkan produksi pangan melalui kebijakan intensifikasi pertanian, terutama beras sebagai makanan pokok. Maka diperlukan fokus dan langkah kongkrit serba cepat untuk melipatgandakan hasil pertanian padi. Itulah makna sesungguhnya swasembada beras yang hendak dicapai sebelum 2017, sekaligus sebagai jawaban agar Indonesia tidak perlu lagi impor beras tahun ini.
Celakanya, dalam menempuh langkah intensifikasi tersebut, kebijakan yang dikeluarkan Mentan muter kemana-mana. Amran Sulaiman, yang berlatar belakang pengusaha, lebih menonjolkan proyek-proyek bombastis infrastuktur yang biasa digarap korporasi besar. Ibarat komputer, berbagai proyek tersebut tak lain berfungsi sebagai perangkat keras (hardware) pertanian. Proyek ini antara lain perbaikan dan pembangunan jaringan irigasi untuk tiga juta hektar sawah; pembangunan gudang dengan fasilitas pasca panen di tiap sentra produksi; rehabilitasi 25 bendungan hingga 2019; penambahan 5-7 bendungan untuk menjamin ketersediaan irigasi; dan pengadaan alat dan pertanian (Alsintan) yang lebih modern.
Program pembangunan yang sensasional itu juga meliputi pembangunan jalur tranportasi ke pusat-pusat pertanian, dan pembukaan 1 juta hektar sawah baru di luar pulau Jawa dan Bali.
Untuk meyakinkan publik, pengadaan infrastuktur tersebut kerap dibumbui dengan mengungkap kesalahan pemerintah sebelumnya dengan mempertontonkan infrastruktur yang sudah 20 tahun diabaikan. Para menteri bidang ekonomi, terutama Mentan, tampak lebih suka menggunakan teknik propaganda dimana isi pesannya berdasarkan fakta-fakta pilihan untuk memuluskan agenda bisnis korporasi di sektor pertanian.
Spekulasi tersebut bertolak dari kenyataan kuatnya peran pengusaha di lingkungan kekuasaan hari ini. Baik di Istana, jajaran kabinet, parlemen maupun partai politik. Spekulasi ini makin menguat ketika suara pemerintah sangat lemah dalam menjangkau program intensifikasi pertanian yang sudah lama didambakan para petani gurem. Perbaikan kualitas lahan; penggunaan benih unggul; penggunaan pupuk yang berimbang dan efisien; dan pengendalian hama dan berbagai organisme penganggu tanaman (OPT) lainnya adalah program intensifikasi yang didambakan oleh para petani yang identik dengan kemiskinan itu.
Inilah perangkat lunak (software) yang merupakan bagian strategis dalam pertanian modern. Dalam arti, jika masalah ini tidak diatasi, meski infrastruktur pertanian telah memadai, kualitas dan volume produksi pertanian akan tetap loyo.
Namun sikap pemerintah sejauh ini mengesankan emang gue pikirin. Sebuah sikap yang agaknya terkait dengan kenyataan bahwa program intensifikasi pertanian sesungguhnya rumit lantaran teramat teknis, ilmiah, dan membutuhkan ketelitian serta kerajinan sangat tinggi. Celakanya lagi, karena berisiko tinggi, para investor juga enggan menjadi sponsor program yang bersahabat dengan petani miskin itu.
Bagi korporasi, melibatkan diri program intensifikasi pertanian bukanlah pilihan menarik. Ini Karen mereka mesti memosisikan diri sebagai petani terlebih dahulu. Ini berarti mereka harus melakukan eksperimen yang membutuhkan biaya tak sedikit, padahal kemungkinan gagal selalu ada. Ini belum termasuk ancaman tradisional seperti ketidakpastian iklim dan serangan hama atau OPT.
Dalam eksperimen perbaikan kualitas lahan misalnya, untuk risetnya saja sudah rumit bukan kepalang. Ini karena tak terfokus pada fenomena alam tropis dan gangguan iklim semata, tapi juga terkait dengan pemanfaatan unsur lokal seperti limbah hayati yang menopang kekuatan biologis tanah. Hasil riset inipun mesti diuji coba di lapangan terus-menerus agar kekuatan biologis tanah cocok dengan benih, komposisi pupuk, takaran air, kondisi geografis dan iklim di area sawah yang digunakan.
Semua itu memicu konsekuensi biaya yang sulit diperhitungkan, apalagi kalau dikaitkan dengan resiko sosial yang sulit ditebak. Maklum, kegagalan sebuah eksperimen pertanian bisa menyebabkan banyak orang mengalami krisis pangan.
Bagi pebisnis yang ingin untung besar dengan resiko kecil, bergerak di bidang pembangunan infastruktur pertanian adalah pilihan paling tepat. Sebab, bila program ternyata tidak tepat sasaran atau gagal, resiko ditanggung oleh pemerintah dan rakyat. Oleh karena itu, bergerak di bidang ini bakal lebih mantap lagi kalau disertai pemberian hak monopoli atau oligopoli oleh pemerintah atas perdagangan atau distribusi komoditas pertanian tertentu.
Rumitnya persoalan intensifikasi pertanian itulah yang menyebabkan dunia pertanian Indonesia sampai hari ini tidak mampu mengkolaborasikan elemen ABG: Akademisi, Bisnis, dan Government. Akibatnya, petani dibiarkan bertarung sendiri menghadapi persoalan yang sudah bergenerasi tak terselesaikan. Sementara hasil riset terobosan pertanian yang sudah ada seringkali di-museum-kan pemerintah, membuat efektivitas pemberian royalti kepada para peneliti pertanian semakin tumpul.
Lihat saja berbagai temuan petani dan akademisi di bidang pupuk organik, baik yang padat maupun cair. Keduanya kerap berbasis lokal dari limbah hayati dan hewani, namun kurang difasilitasi pemerintah untuk dikembangkan secara massal. Padahal pupuk tersebut lebih responsif terhadap tanaman karena kaya akan kandungan C-organik yang turut memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah sebagai medium tanam. Namun untuk mengembangkannya secara massal tidak mudah karena akan dihadang kartel pupuk Urea, NPK dan sebagainya yang telah mengakar sejak lama dan digunakan untuk nyaris segala komoditas agro di tanah air.
Ibarat drama, jelas apa yang digembar-gembor pemerintah untuk mencapai swasemda beras, apalagi kedaulatan pangan, terkesan cuma acting, alias tidak tulus. Terlebih lagi dalam “memaksa” petani menjadi kaya. Tapi bila menyimak drama berbagai proyek bombastis infrastuktur fisik, seperti sinetron yang menggelikan. Berbagai proyek tersebut tidak menyentuh subtansi taktis yang mempercepat swasembada pangan, terutama beras. Malah memperlama swasembada akibat adanya konsekuensi biaya dan waktu yang ditelan hingga tidak tepat sasaran untuk jangka pendek.
Banyak contoh yang bisa dirunut dalam hal ini. Pada proyek rehabilitasi dan penambahan 5-7 bendungan misalnya. Pemerintah berencana pembangunan infrastruktur tersebut tidak sekedar untuk menjamin ketersediaan air di irigasi, tapi juga berfungsi sebagai PLTA. Proyek ini selintas memang hebat, tapi tergolong jangka panjang, dan bukan program melipatgandakan produktifitas pertanian dalam waktu cepat.
Hal lain yang nampak sebagai pencitraan semata, yaitu pengadaan bantuan Alsintan berupa traktor tangan kepada kelompok tani se-Indonesia. Di Jawa Tengah, jumlahnya mencapai 6000 unit, yang menurut Amran Sulaiman merupakan bantuan Alsintan terbesar sepanjang sejarah republik. Ini belum termasuk bantuan ratusan pompa air. Di Jawa Timur bantuan serupa juga mencapai ribuan.
Untuk menyenangkan hati Jokowi, Amran Sulaiman memaksa korporasi mitra Kementan, salah satunya PT Kubota, untuk buka bungkus ratusan traktor tangan sebagai keperluan seremoni Jokowi dalam pemberian bantuan Alsintan kepada kelompok Tani di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tapi sepulang Jokowi dari acara seremoni di Ponorogo, Jawa Timur, bantuan traktor tangan ditarik lagi oleh korporasi.
Belakangan pihak PT Kubota mengakui, traktor tersebut ditarik karena memang belum ditender. Payah! ***
Sumber: indonesianreview.com
0 Response to "Drama Pertanian di Republik Jokowi"
Posting Komentar