Oleh Canny Watae
Jadi situasinya begini:
Pada masa kampanye, Joko Widodo berjanji bahwa ia tidak akan bagi-bagi jabatan. Ternyata, sebagian besar isi kabinet berasal dari Partai Politik pendukungnya.
Jelas, dia bagi bagi jabatan. Walaupun bagi bagi jabatan adalah sebuah keniscayaan dalam politik, tetapi pra-posisi Joko yang melempar janji kepada publik ia tidak akan melakukan bagi bagi jabatan semestinya membuatnya tidak melakukan aksi bagi bagi jabatan.
Publik yang hanya bisa pasrah karena pilihan telah dijatuhkan, kemudian bertanya-tanya, apa bisa orang-orang Parpol itu memberikan capaian pembangunan yang prima mengingat mereka sebagian besar bukanlah ahli pada bidang kementerian yang mereka jabat?
Sekarang, nampaknya ada jawaban, bahwa kabinet yang sebagian besar berisi orang parpol itu sepertinya memang "tidak diharapkan" untuk memberi capaian pembangunan.
Kantor Staf Kepresidenan diperkuat. Ada 5 Deputi dengan berbagai latar belakang keahlian dan pengalaman diangkat. Dan dalam waktu dekat, kelima Deputi ini akan diperkuat lagi dengan 6 staff yang secara khusus dipilih dari sebuah universitas bergengsi dunia: Harvard. Jelas, ini akan menjadi sebuah kabinet bayangan dalam pemerintahan Joko Widodo. Ya, jelas, karena tim ini akan menjadi semacam advisory team bagi Presiden.
Berapa dan dari pos anggaran mana pembiayaan untuk tim ini?
Bagaimana dengan posisi kabinet yang jelas-jelas termaktub dalam Undang-Undang Dasar?
Pengejawantahan operasi pembangunan yang garis besarnya dinyatakan dalam APBN akan berada dibawah implementor yang mana, Menteri atau Kantor Staf Kepresidenan?
Terakhir, berkaca dari situasi ini: Apakah benar Joko Widodo benar-benar adalah Presiden Republik Indonesia?
0 Response to "Soal Harvard di Kantor Kepresidenan"
Posting Komentar