Oleh Yusuf Maulana*
Ada sebagian rekam jejak Abraham Lunggana, alias Haji Lulung, sebagai pengusaha jasa keamanan di Tanah Abang yang mungkin menyakiti banyak orang. Terlebih pada masa ia sebarisan dengan Hercules Rosario Marshal, saat jaya-jayanya, tidak sedikit orang yang tersakiti berasal dari pribumi Betawi.
Besar di jalanan preman, meski diperhalus dengan ‘jasa keamanan, tentulah Lulung banyak dipengaruhi lingkungan. Bahasa yang dipahami dan dimengerti tidaklah sama dengan kalangan akademisi apalagi agamawan. Pun saat bertitel haji, tidak serta-merta Lulung sejajar dengan para alim, apatah lagi habib tulen pencinta jalan Nabi nan mulia.
Maka, bergabungnya Lulung sebagai politisi sebuah partai Islam, terlalu dini bisa mengubah kebiasaan dan tabiat keras-lugasnya ala preman Tanah Abang. Semua ini normal dan wajar saja. Bukan cerminan politisi Muslim dengan fatsoen ideal, memang.
Tapi, berkonsentrasi pada masa lalu Lulung dan menilainya sebagai ciri abadi, tidaklah adil. Lulung boleh jadi banyak cerita tak elok. Tapi, tak elok pula kalau kita tidak beri kesempatan ia memperlihatkan pengabdian dan kiprahnya sosialnya, yang sayangnya sering dianggap remeh media. Menilai pribadi Lulung utuh-utuh secara mutlak dari perilakunya yang masih taraf belajar, tidaklah bijak. Apatah lagi memperoloknya dengan bentuk parodi sekalipun.
Lulung jelas bukan simbol Islam, kendati ada panggilan haji yang sering ditulis media di mana-mana. Sayangnya, media dan sebagian publik gemar menjadikannya parodi. Sebuah hastag yang edar usai ‘percekcokan’ Lulung dengan Gubernur Jakarta menjadi titik balik ‘serangan’ pada Wakil Ketua DPRD ini. Lulung semacam manusia yang menjengkelkan, memalukan, sekaligus pula penghadang kebenaran menurut versi pengejeknya.
Di luar soal perseteruannya dengan Gubernur Jakarta yang bisa jadi dianggap tidak bermutu, Lulung kadung diposisikan secara sigap sebagai tokoh antagonis dengan wajah humor. Namun, tetap saja ini sebentuk hinaan. Banyak sebenarnya yang memiliki rekam jejak dan akrobat politik lebih menjengkelkan dan jelas-jelas merugikan rakyat, tapi kalangan yang hari ini menghina Lulung cenderung diam. Tidak ada aktivitas save ini dan itu untuk menyindir apalagi mengejek tokoh tersebut.
Soal premanisme di Tanah Abang, Lulung boleh saja disebut berandil. Ini jelas aktivitas yang tidak dibenarkan walau kita kudu menyigi detail perbedaan perlakuan dibandingkan era Hercules berkuasa. Namun, menganggap Lulung ‘preman’ anggaran, bahkan ada yang menyebut ‘begal anggaran’, jelas butuh akurasi data. Tidaklah adil ketika ada pejabat yang atraksi politiknya merugikan rakyat, hanya karena disukai media maka yang bersangkutan selamat dari cercaan publik. Sungguh kasihan dan patut bersedih menjadi sosok seperti Lulung. Noda hitam selaku penguasa Tanah Abang itu dilekatkan secara permanen untuk perbuatan yang belum tentu—atau bahkan tidak—dilakukan Lulung.
Mengejek masif Lulung hanyalah tindakan sia-sia. Apa pasal? Lulung hanyalah antagonis yang diciptakan kalangan tertentu—dibantu media besar—untuk mengalihkan keantagonisan yang lebih kasatmata dan memerihkan luka andai rakyat bernalar. Sungguh mulia para ‘preman’ berkerah putih yang menjarahi uang rakyat Indonesia lewat Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) seusai krisis keuangan 1997. Mereka inilah yang banyak berkubang dengan kejahatan sistemik tapi tidak pernah ada yang mengungkit rasis sebagaimana diterima Lulung kini. Padahal, orang-orang yang berhak disebut buronan itu kini melenggang nyaman di sekeliling penguasa, entah Gubernur Jakarta ataukah Presiden Paduka Mulia (malah ada yang dijadikan penasihat pula).
Izinkan saya sadur ulang tulisan Noam Chomsky yang mengutip St Augustine tentang dialog seorang bajak laut atau perompak yang ditangkap Kaisar Alexander Agung. Saat ditanya seputar perbuatan jahatnya oleh Kaisar, dengan enteng si perompak berkata, “Karena aku yang melakukannya dengan perahu kecil, maka disebut ‘maling’; sedangkan engkau yang melakukannya dengan kapal besar, maka disebut ‘kaisar’.
Lulung seperti ‘bajak laut’, yang wajib ia dikutuk oleh siapa saja hanya karena sering bikin onar di maritim. Sayang, orang banyak lupa ada perompak yang lebih biadab dan brutal meski tidak berbendera kepala tengkorak lantaran mengatasnamakan armada kaisar. Sedihnya, banyak yang tidak mengerti letak persoalan lantas memerangkapkan diri untuk bergerombol menjadi pengikut ‘kaisar’, yakni opini kelas menengah yang membela fanatik penguasa Jakarta dan sekaligus pemuka Presiden tercinta.
Selain layak diikonkan sebagai ‘bajak laut’ yang pantas ditertawakan plus dicaci, kalangan pengejek umumnya merupakan kalangan yang beberapa pekan ini lama tertidur karena sang idola berat, Presiden Paduka Mulia, banyak lahirkan kebijakan tidak bijak—terutama soal kriminalisasi petinggi KPK. Sindiran hingga ejekan dari kubu pesaing saat pemilihan presiden cenderung didiamkan lantaran kehilangan logika, selain sebatas kegilaan fanatik. Pada saat Presiden terpuruk untuk dicinta (lagi), ikon baru untuk masa depan (Gubernur Jakarta) diserang kalangan yang sama. Di sinilah titik bangkit kalangan kelas menengah sekuler untuk membela marwahnya.
Tepat saat serangan pada sang Gubernur ada tokoh yang pantas jadi katarsis diri sekaligus unjuk eksis: Lulung. Ditambah panggilan ‘haji’, semakin kloplah wajah antagonis sarat paradoks pada tokoh ini. Serupa dengan kerapnya Pramoedya A Toer mencari sosok tokoh yang dianggapnya munafik wakil dari kapitalis tulen yang menyakiti rakyat: pasti bergelar haji dan bernama Islam.
Inilah yang kemudian membuat mereka jadi gegap gempita ‘mengangkat’ Lulung meski dengan cara seolah bersimpati. Inilah cara mereka keluar dari rasa bersalah diri karena membela penguasa negeri yang lemah, lantas memperolok sosok yang ‘lemah’. Lulung dilemahkan agar terus jadi kontra dari figur pujaan (Gubernur) yang kadung dianggap ‘tegas dan (selalu) benar’.
Apa pelajaran dari perseteruan di Ibu Kota ini? Bagi seorang Muslim, mungkin ada polah dan adab Lulung yang tidak pas pada masa silam hingga kini. Tapi, memperolok atau bahkan menghina dengan ikut gerakan kalangan tertentu jelas patut dipertimbangkan. “Seseorang,” sabda Rasulullah Saw sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim dari jalur Abu Hurairah, “telah dianggap berbuat jahat apabila ia menghina saudaranya sesama muslim. Muslim yang satu dengan yang Iainnya haram darahnya. hartanya, dan kehormatannya.”
Tidak suka dengan tindakan memelihara preman atau pamer mobil mewah ala Lulung boleh saja. Hanya saja, beranjak dengan semangat untuk mengejeknya beramai-ramai, patutlah ditimbang hadits di atas. Ditambah lagi kita kudu bersiap dengan sesal di kemudian hari karena hanya jadi beo dari permainan busuk para ‘kaisar’. Mengumpati ‘bajak laut’ tapi abai para penjahat kakap, justru perlihatkan kelemahan diri kita belaka. Sedihnya, peramai tagar pencela Lulung tidak sedikit berkerung dan bernama islamis.
*sumber: ISLAMPOS
0 Response to "Menimbang Lulung"
Posting Komentar