Oleh Hasmi Bakhtiar*
Tentu selama ini kita sudah melihat, ada dua kekuatan yang saat ini mendominasi wilayah timur tengah dan Arab. Kekuatan pertama adalah Saudi Arabia dengan basis dukungan dari negara teluk yang dikenal ber-ideologi muslim-sunni. Negara-negara teluk yang tergabung di dalam GCC (Gulf Cooperation Council/ dewan kerja sama negara Arab di teluk -Saudi Arabia, Kuwait, the United Arab Emirates, Qatar, Bahrain, and Oman) memiliki kekuatan hampir di semua sektor, baik ekonomi, politik maupun militer.
Kekuatan mereka di kawasan sangat terlihat jelas, contohnya ketika Barat ingin 'memasuki' kawasan timur tengah maka pemimpin negara teluklah pihak pertama yang dimintai restu oleh Barat, karena kunci masuk timur tengah ada di tangan mereka.
Kekuatan kedua adalah Iran, dengan ber-ideologi muslim-syiah, Iran berusaha membangun kedekatan hubungan dengan Libanon, Suriah dan beberapa pemimpin milisi di timur tengah dan Arab, kekuatan yang menjadi tandingan Saudi Arabia di kawasan.
Selama ini Iran dan sekutunya selalu menuduh Saudi Arabia dan pemimpin negara teluk sebagai penjaga kepentingan Amerika Serikat dan Barat di kawasan. Saudi Arabia dan negara teluk lainnya dinilai tidak lebih dari kacung Amerika Serikat, yang menjual kekayaan bumi Arab demi kekuasaan.
Dipihak lain, Saudi Arabia juga memiliki kecurigaan terhadap Iran. Iran dituduh sering melakukan konspirasi untuk mematahkan pengaruh Arab Saudi dan negara teluk di timur tengah, Saudi Arabia merasa dirongrong oleh Iran dan sekutu. Belum lagi issue ideologi ikut bermain, Iran dituduh memiliki misi menyebarkan paham syi'ah di penjuru negara Arab dengan menghalalkan segala cara, termasuk cara militer. Namun hubungan panas dua kekuatan tersebut baru bermain di tingkat opini, belum sampai ke tingkat perang militer, hingga pada akhirnya Iran ikut campur membantu rezim Assad di Suriah, yang tentu menyulut ketegangan dengan Arab Saudi dan negara teluk, puncaknya adalah ketika Iran membantu kudeta di Yaman yang dilakukan oleh kelompok syi'ah Houthi. Kudeta yang dibantu oleh Iran tersebut membuat negara teluk tersengat dan merasa perang harus segera dipersiapkan.
Qadarullah... raja Abdullah penguasa Saudi Arabia meninggal dunia. Tahta kerajaan yang sekarang berada ditangan raja Salman bin Abdul Aziz ternyata berdampak terhadap konstelasi politik di timur tengah, termasuk reaksi Saudi Arabia dalam menyikapi manuver politik dan militer Iran di kawasan, dan yang terakhir di Yaman.
Saat ini Yaman bisa dikatakan sebagai pertaruhan harga diri antara Saudi Arabia dan Iran. Perang dingin yang selama ini melibatkan kedua negara akan dibuktikan di sana, siapakah yang lebih kuat di kawasan? Iran dengan milisi syi'ah ataukah Saudi Arabia dengan negara teluk yang kemungkinan dibantu pihak ketiga?
Dalam menentukan pihak ketiga ini, kepemimpinan raja Salman agak berbeda dengan pendahulunya, Abdullah. Saat ini Saudi Arabia terlihat sedikit lebih cerdas dalam memilih teman koalisi, mungkin maksudnya agar tidak terjebak dalam permainan politik yang merugikan dikemudian hari, seperti yang selama ini terjadi di era Abdullah. Langkah raja Salman menggandeng Turki untuk mendapatkan amunisi guna 'menghabisi' Iran akan menambah daftar pemain baru di kawasan. Jika lobi-lobi politik ini menemukan kata sepakat, tidak menutup kemungkinan Iran dan negara sekutunya akan kesulitan, bisa-bisa Yaman yang sudah di dalam genggaman kembali terlepas.
Kemesraan Raja Salman dengan Erdogan sudah terlihat jauh-jauh hari, bahkan ketika raja Abdullah wafat, Erdogan mempersingkat kunjungan luar negeri ke Somalia demi menghadiri prosesi pemakaman raja Abdulah.
Belum sepekan Erdogan menyelesaikan kunjungan resmi ke Saudi Arabia, entah apa persisnya pembicaraan kedua pemimpin islam tersebut, yang jelas issue politik timur tengah menjadi topik utama pertemuan mereka berdua.
Banyak pihak yang menduga kunjungan Erdogan ke Saudi Arabia akan membahas permasalahan kudeta militer di Mesir, lebih jelasnya meminta Saudi Arabia menghentikan semua bantuan untuk pemerintah kudeta Mesir. Namun saya rasa pembicaraan kondisi Mesir hanya satu dari banyak kesepakatan yang diinginkan Erdogan dari raja Salman. Menghambat laju kekuatan Iran yang ingin mencoba menjadi penguasa baru di kawasan saya rasa termasuk point penting pembicaraan mereka.
Langkah raja Salman melirik Turki sebagai mitra koalisi sudah sangat tepat, apalagi musuh yang akan mereka hadapi tidak hanya sebatas Iran dan sekutunya, ada kekuatan Barat dan Eropa yang terus memantau dari jauh perkembangan timur tengah. Turki yang saat ini termasuk sebagai negara terkuat di Eropa tidak hanya mapan di sektor ekonomi dan militer, lebih dari itu, Turki juga memiliki sejarah kepemimpinan yang sangat panjang, budaya kemenangan mengalir di dalam tubuh bangsa tersebut, mental juara yang dimiliki Turki akan menjadi modal yang sangat berarti nantinya. Apalagi ditambah kekuatan Saudi Arabia yang mapan di sektor ekonomi dan memiliki posisi istimewa di hati umat islam, tidak hanya di kawasan tetapi juga umat islam diseluruh dunia. Jika kekuatan ini menemukan kata sepakat saya rasa hasilnya akan sangat luar biasa. Namun sebelum sampai kesana banyak hal yang harus dilewati calon kekuatan baru tersebut.
Di tengah hiruk-pikuk usaha Saudi Arabia dan Turki menghambat laju Iran dan sekutunya di timur tengah, dan ada kemungkinan Qatar ikut bergabung, muncul pertanyaan: apakah negara teluk plus Turki akan 'perang' mati-matian demi Yaman dan kemudian membiarkan Mesir, Suriah, Irak dan Libya jatuh ke tangan musuh demokrasi di timur tengah?
Koalisi Ankara-Riyadh-Doha mungkin saja memenangkan pertarungan melawan Iran dan sekutunya di Yaman, tetapi merebut Yaman dan membiarkan negara sekitarnya terus bergolak saya rasa itu bukan solusi cerdas. Solusi jangka pendek mungkin iya, tetapi itu ibarat bom waktu yang kapanpun bisa meledak bahkan menghancurkan poros Ankara-Riyad-Doha sendiri. Mengapa? Karena saat ini penguasa negara-negara tersebut adalah dari kalangan hipokrit, yang lebih mementingkan kekuasaan dan uang dibanding ideologi perjuangan. Mereka akan rela melakukan apapun demi mendapatkan uang, termasuk menjadi pengkhianat di tubuh bangsa Arab sekalipun.
Kita lihat Libya, memang saat ini Libya dikuasai oleh lebih dari satu kepemimpinan, tetapi yang diakui dunia internasional adalah kepemimpinan Khalifa Haftar yang dengan nyata menjual negaranya kepada pihak manapun yang memberinya uang.
Contoh kedua Mesir, Abdel Fattah As-Sisi, presiden hasil kudeta tersebut saya kira akan dengan senang hati berpaling dari Saudi Arabia yang merupakan donatur As-Sisi melakukan kudeta, ini sudah terlihat dengan mesranya hubungan para jendral Mesir dengan pemberontak syi'ah Houthi akhir-akhir ini, ditambah lagi gagalnya misi As-Aisi ketika baru-baru ini berkunjung ke Saudi Arabia, niat mencari bantuan segar gagal total setelah raja Salman malah meminta As-Sisi memperbaiki hubungan dengan oposisi, termasuk di dalamnya kelompok Ikhwanulmuslimin.
Jadi menurut saya koalisi Ankara-Riyadh-Doha akan mengalami banyak tantangan jika melupakan konflik di negara sekitar (Arab). Koalisi yang dibangun Erdogan akan memiliki kekuatan maksimal dengan membantu semua negara yang saat ini sedang berjuang mendapatkan hak mereka yang dirampas musuh demokrasi. Memang ini membutuhkan tenaga yang tidak sedikit, dalam satu waktu koalisi Ankara-Riyadh-Doha harus membantu menyelesaikan permasalahan di banyak negara, tetapi itu harus dilakukan, merebut Yaman dan melupakan konflik negara Arab lainnya hanya akan memenangkan ego Saudi Arabia terhadap Iran, atau tidak lebih dari sekedar unjuk kekuatan di depan Iran, tapi tidak menyelesaikan akar permasalahan sesungguhnya. Namun jika Saudi Arabia bisa mengenyampingkan ego kebesarannya, dan lebih mementingkan kemenangan umat islam dipenjuru tanah Arab, 'merebut' Yaman dan juga negara Arab lainnya mutlak dilakukan.
Lille, 07 Maret 2015
*Hasmi Bakhtiar, Alumni Al-Azhar Mesir, Saat ini menempuh S2 di Lille Perancis Jurusan Hubungan Internasional. Kontributor Piyungan Online. (Twitter: @hasmi_bakhtiar)
0 Response to "Pergolakan Yaman: Sunni vs Syiah, Pertaruhan Saudi Arabia vs Iran"
Posting Komentar