Erdogan dalam kampanye menjanjikan untuk mendidik generasi relijius. Sejak berkuasa, secara bertahap meningkatkan akses sekolah agama, Imam Hatip baik dalam pembiayaan, kesetaraan dan kualitas.
Perjuangan yang berat karena derajat islamophobia militer dan kelompok sekuler. Sejak Republik Turki berdiri, mereka menjadikan pendidikan agama kelas dua yang dihindari keluarga modern Turki.
Rencana Erdogan meningkatkan kesederajatan sekolah Imam Hatip melalui amandemen UU pada 2004 menghadapi tentangan keras. Kendati lolos di parlemen namun Erdogan menyimpannya di rak, khawatir rencana tersebut menjadi jalan kudeta.
Kini berbeda. Pemerintah Erdogan menyediakan masjid di setiap mahale (setingkat RW), berikut Imam dan Muazzin yang digaji negara. Konon, Imam menerima 3000 TL dan 2000 TL untuk Muazin. Jika 1 TL sekitar 5000 rupiah maka setiap bulannya, mereka menerima gaji antara 15 hingga 10 juta. Honor yang lebih dari cukup untuk hidup normal di Turki.
Sama di kampus. Pemerintah membangun masjid di setiap asrama pemerintah dan yang sempat menjadi kontroversi, memisahkan penghuni laki-laki dan perempuan. Konon secara bertahap, juga disediakan Imam dan Muazin karena beberapa kampus mulai menyelenggarakan shalat jumuah.
Mereka berkewajiban untuk melayani kebutuhan spiritual masyarakat, dari memimpin sholat, mengajar agama secara rutin dan terjadwal hingga penyelenggaraan upacara kematian secara cuma-cuma.
Dalam desain ini, secara bertahap, Erdogan akan sukses memenuhi janjinya. Masyarakat membutuhkan keberadaan para pelayan agama ini. Tidak peduli anda relijius atau bukan, di Turki warga membutuhkan Imam untuk menikah dan saat mati. Namun, saya menyaksikan masjid mulai ramai pada saat sholat jamaah maupun pengajian. Tidak hanya menarik kalangan tua, namun juga muda.
*by Ahmad Dzakirin, Penulis Buku
0 Response to "Erdogan dan Generasi Relijius"
Posting Komentar