Pakar Politik dan Pemerintahan dari Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), Bayu Dardias Kurniadi mengatakan, perubahan nama gelar yang diumumkan Sri Sultan Hamengku Buwono X (Sultan HB X) dalam Sabda Raja akan berefek cukup luas.
Sebab gelar sudah tercantum dalam Ketentuan Umum Pasal 1 poin 4 UUK. Pasal itu sengaja tidak menyebutkan angka “Sedasa” karena mengibaratkan gelar tidak berubah.
Bayu juga menilai, adanya Sabda Tama yang dikeluarkan yang dikeluarkan Sultan HB X pada Jumat (6/3) lalu di Bangsal Kencana, dan ditambah adanya Sabda Raja pada Kamis (30/4) di Sitihinggil, menunjukkan Sultan sedang berupaya memuluskan pewaris tahta dari keturunan biologisnya.
Budayawan Heru Wahyu Kismoyo mengatakan, beberapa poin Sabda Raja yang mengubah nama dari Buwono menjadi Bawaono serta menghilangkan gelar Khalifatullah, berarti harus mengubah Perjanjian Giyanti, piagam kedudukan 19 Agustus 1945, UUK DIY, serta SK Penetapan Gubernur, dan keputusan-keputusan yang pernah diterbitkannya.
Jika Sabda Raja dijadikan kekuatan hukum tetap, maka hal itu menurut Heru adalah pelanggaran terhadap paugeran, adat, sekaligus Syariat Islam, sebab gelar khafilatullah itu sudah melekat sejak 1755.
“Sehingga sacara otomatis gugur sudah seluruh keistimewaan yag melekat sejak 1945 sampai 2015. Karena amanat sejarah, amanat konstitusi serta amanat leluhurnya diingkari sendiri,” jelas dosen Filsafat Budaya Mataram, Universitas Widya Mataram Yogyakarta ini dikutip Tribun Jogja.
0 Response to "Pakar Politik UGM: Keistimewaan Yogyakarta Gugur dengan Hilangnya Gelar Khalifatullah"
Posting Komentar