Erdogan, Sang Guru, dan Produk 'Tarbiyah Yang Gagal'


Taman (park) Prof. Necmettin Erbakan di Kirac, Esenyurt, Istanbul tidak hanya menyimpan keindahan namun juga 'moral story' dibaliknya.

Erdogan adalah murid Prof. Necmettin Erbakan. Erdogan hasil didikan langsung madrasah 'Mili Gorus' (sejenis varian lokal 'Ikhwanul Muslimin') yang didirikan Erbakan. Seiring pembubaran Partai Fezilet (Juni 2001, oleh Keputusan MK karena dianggap melanggar konstitusi sekuler Turki), keduanya (Erbakan-Erdogan) berpisah jalan karena perbedaan pendekatan politik.

Selaku golongan muda progresif, Erdogan tidak cocok dan mengkritik pendekatan kaku gurunya, Hoca Erbakan, hingga akhirnya Erdogan keluar mendirikan partai baru (AKP), bersama Abdullah Gul, sahabatnya, sementara Hoca (sang guru) mendirikan partai baru, Saadet Partisi.

Sejak itu, sang Hoca marah, tidak mau berkomunikasi dengan Erdogan. Hoca menyebutnya sebagai produk tarbiyah yang gagal. Dalam wawancaranya dengan Sharq Awsat, Erbakan mengatakan Erdogan mengambil semua ide Mili Gorus, kecuali platform politik. "Dia menyukai profit (keuntungan) ketimbang prophet (Nabi)", sindirnya.

Namun ketika, Erbakan wafat, Erdogan (yang saat itu sudah menjabat Perdana Menteri Turki dengan AKP-nya) memperpendek lawatannya di Jerman untuk menghadiri pemakaman Hoca dan bahkan memanggul keranda jenazah Hoca bersama murid lainnya, Presiden Abdullah Gul.

Dalam sambutannya, Erdogan mengatakan Hoca telah mengajari kegigihan, kesabaran dan sebagai guru yang tak tergantikan.

Untuk mengenangnya, dibangun taman seluas 46.000 m2 atas namanya, 'Prof. Necmetin Erbakan Parki', di Esenyurt. Kotamadya Esenyurt sendiri dikendalikan AKP. Saya tidak tahu apakah pembangunan taman tersebut atas inisiatifnya. Namun taman ini menjadi taman terbesar dan terlengkap di Esenyurt, jauh lebih besar dari taman Erdogan sendiri.

Mungkin ini pula akhlak dan penghargaan untuk seorang guru. Kendati Partai Saadet kini jadi lawan politik AK Parti dan masih tampak kuat derajat ketidaksukaan dan permusuhannya, namun hal itu tidak menghalanginya untuk menghormati dan mengenang jasa guru. Tidak ada kalkulasi politik atau memandang pembangunan tersebut sebagai ancaman karena perbedaan pandangan politik. "Mikul Dhuwur Mendem Jero", nasehat bijak orang Jawa.

Mungkin itu pula hikmah yang dapat diambil. Akhlak terhadap orang yang berjasa kendati berbeda pandangan politik.

*Oleh Ahmad Dzakirin, penulis buku dan pengamat Timteng


0 Response to "Erdogan, Sang Guru, dan Produk 'Tarbiyah Yang Gagal'"

Posting Komentar